Sikap Menghadapi Kehidupan

Kalau ditanya apa sikap kita terhadap semua hal yang kita hadapi
sehari-hari, apa yang akan Anda jawab? Apakah menjawab: “Ya menerima
saja apa yang terjadi”, ataukah mengatakan “Akan berusaha untuk
menjadi lebih baik dari hari sebelumnya?”

Pada dasarnya itulah dua sikap pokok kita dalam menghadapi kehidupan
sehari-hari. Kita akan menjadi orang yang lebih suka menikmati apa
pun yang terjadi atau kita memilih untuk setiap kali “terusik” ingin
selalu “memperbaiki” kondisi yang kita punyai. Itulah yang ditemukan
para peneliti yang tergabung dalam Technonet Asia ketika 1983 mereka
memperbaiki modul pelatihan AMT (Achievement Motivation Training).
Mereka menyebutkannya sebagai sikap atau dorongan senang kenikmatan
(hedonistik) dan sikap atau dorongan ingin merasa bermanfaat/berguna
(meaningfullness). Sikap hedonistik adalah sikap untuk menerima dan menikmati secara apa
adanya hal-hal yang terjadi dan sulit menerima perubahan – maunya
semua hal berjalan dengan teratur-rutin-terencana. Orang lain melihat
orang hedonis sebagai orang yang adem ayem.

Sedangkan orang yang mempunyai dorongan ingin bermanfaat dikenal
sebagai orang yang kritis, tidak mudah menerima begitu saja kondisi
atau situasi yang ada. Orang semacam itu selalu tidak puas dan akan
selalu mencari alternatif baru. Sering juga kelihatan sebagai orang
yang selalu “mencari kesulitan”.

Sepertinya pikirannya tidak pernah istirahat. Orang lain sudah puas
terhadap suatu situasi-kondisi, eh, dia tetap saja mengotak-atik hal-
hal yang dapat diubah, mengusulkan hal-hal yang kalau dilaksanakan
malah membuat situasi yang sudah “kelihatan baik” harus diubah lagi.

Embro, Pipo, dan Hukum Tanam – Tuai

Cara mudah untuk memahami kedua sikap atau dorongan di atas adalah
dengan memahami cerita tentang Embro dan Pipo, yang sudah di-VCD-kan
oleh sebuah MLM.

Kedua orang itu adalah pemuda yang penuh cita-cita dan keinginan.
Suatu saat mereka ditawari untuk menyuplai air dari suatu sumber di
perbukitan ke penampungan di perbukitan lain, dan mendapat upah
sesuai dengan jumlah ember air yang dapat mereka setorkan. Senanglah
mereka itu. Beberapa keinginan dapat tercapai sesuai dengan upah yang
mereka dapatkan.

Hanya saja si Pipo kemudian menjadi resah. Apa iya, harus selalu
begitu, setiap hari harus berjalan naik-turun bukit, pulang-balik
membawa ember-ember air? Sampai berapa lama mereka akan kuat? Usia
pasti tidak dapat dibohongi, lama-kelamaan kekuatan badan untuk
melakukan satu-satunya kegiatan yang menghasilkan pendapatan itu
pasti menjadi berkurang. Mau apa setelah itu? Berhenti bekerja dan
tidak mendapatkan penghasilan lagi?

Maka Pipo berpikir kalau ia berhasil membangun jaringan jalur pipa
dari sumber air ke penampungan, akan ada cara yang lebih mudah untuk
mendapatkan penghasilan.

Benarkah begitu?

Emangnya mudah membangun jalur pipa? Lalu, selama membangun jalur
tersebut ia akan mendapat penghasilan dari mana? Kalau tidak ada
setoran ember-ember air, tentu tidak akan ada upah yang didapat, ya
kan?

Tentu saja bukan Pipo kalau menyerah pada hambatan-hambatan
tersebut. “Jer basuki mowo beyo (artinya: semua kesenangan selalu ada
harganya)”, katanya. “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke
tepian”, sambungnya dengan tekad bulat.

Karena itu, terbangunlah jaringan jalur pipa tersebut. Pipo sekarang
tinggal ongkang-ongkang kaki, tanpa perlu lagi bekerja keras
penghasilan sudah mengalir sendiri seperti aliran air di dalam pipa
yang dibangunnya. Sedang si Embro tetap saja terbungkuk-bungkuk
pulang-balik naik-turun bukit menenteng ember-embernya.

Kalau ditanyai, pasti semua dari kita memilih cara yang dilakukan
Pipo. Cuma saja, maukah kita berolah-pikir untuk keluar dari hal-hal
rutin yang sudah kita akrabi dan kita laksanakan setiap hari?
Dapatkah kita melihat alternatif selain yang yang biasa kita lakukan?
Maukah kita bersakit-sakit, padahal kita dapat bersenang-senang
sekarang?

Pipo memang sadar bahwa harus ada cara lebih baik dibanding dengan
yang sudah selama ini dilakukan sehari-hari. Ia menginginkan
perubahan dan secara sadar melakukan daya-upaya supaya perubahan itu
terjadi.

Harus diingat bahwa selama proses itu terjadi banyak hal “tidak
nyaman” yang harus ditanggungnya: tidak menerima upah, melakukan
kegiatan yang tidak mudah, yaitu membangun pipa. Belum lagi kalau ada
cemoohan yang dilontarkan orang-orang yang skeptis terhadap apa yang
dilakukannya (pasti selalu saja ada orang yang mencemooh hal-hal baru
yang dilakukan!). Tetapi orang-orang seperti Pipo itu percaya pada
hukum tanam-tuai (the law of harvest). Ia percaya bahwa akan panen
(menuai) sesuatu yang ditanamnya. Kalau menanam kebaikan, kebaikan
jugalah yang akan dituai. Kita akan panen kentang, bukan pepaya,
kalau menanam kentang. Kalau membesarkan anak sapi, besarnya pasti
juga akan menjadi sapi, bukan kuda. Selain itu, ia percaya bahwa ada
jarak, atau proses waktu, di antara kegiatan menanam dan menuai.
Tidak mungkin menanam hari ini, kemudian besok pagi panennya.

Untuk dapat panen, benih yang ditanam tidak boleh lupa dipelihara:
disirami, disiangi (dibersihkan dari tanaman pengganggu yang akan
mengancam) dan semacamnya. Dalam kenyataan sehari-hari, aktivitas
Pipo yang berdisiplin, commit terhadap ide yang kemudian
dilaksanakannya dan terus membangun komitmen melaksanakannya sampai
selesai terbangun jaringan jalur pipa adalah tindakan yang seperti
menyirami atau menyiangi “tanamannya”.

Akhirnya, hasil panenan pasti akan lebih banyak daripada yang
ditanam. Kita menanam satu butir padi, panennya pasti berlipat
menjadi 30, 60 atau ratusan butiran padi. Tidak mungkin menanam
sebiji pepaya, yang dipanen hanya sebuah pepaya doang, kan? Pasti ada
berpuluh-puluh pepaya yang dapat kita panen!

Peka terhadap Perubahan

Orang seperti Pipo memang selalu peka terhadap kondisi yang dihadapi
dan selalu siap berubah sesuai dengan tuntutan kondisi yang ada.
Dunia sendiri selalu berubah. Contoh yang mudah adalah peralatan
tulis.

Sekian puluh tahun yang lalu, alat untuk menulis adalah mesin ketik,
yang berevolusi, mulai dari segede meja sampai ke yang portable,
Kemudian komputer menggantikannya. Tetapi, ketika komputer mulai
diperkenalkan, orang tidak pernah mengira bahwa akan menjadi seperti
sekarang.

Dulu komputer berbentuk benda setengah kamar, berevolusi menjadi
sebesar radio meja, lalu kita kenal jenis XT, sekarang ada laptop,
palmtop atau digabung dengan fungsi lain menjadi PDA.

Banyak lagi contoh untuk perubahan semacam itu. Kalau kita tidak
dapat mengikutinya, kita akan menjadi obsolete people. Artinya orang
yang basi (sehingga tidak mempunyai pemahaman terhadap kemajuan) atau
gaptek (gagap teknologi).

Contoh jelas yang tidak dapat mengikuti perubahan adalah dinosaurus.
Perubahan besar yang terjadi di bumi tidak dapat diikutinya sehingga
binatang itu kehilangan sumber makanannya dan musnah semua, tidak
tersisa sedikit pun.

Dari peristiwa itu, Charles Darwin yang terkenal itu meninggalkan
kata-kata mutiara bagi kita: “Bukan mereka yang terkuat dan terbesar
yang akan dapat mempertahankan eksistensinya – tetapi hanya mereka
yang mampu beradaptasi terhadap perubahan”.

Untuk Pipo, ia malah menciptakan perubahan itu sendiri karena
bersikap proaktif dengan membuat abstraksi (membuat gambaran) setelah
berpikir tentang “apa iya harus terus mengangkut ember demi ember
sampai tua nanti.”

Sikap-sikap proaktif seperti itulah yang membuat orang dapat tetap
maju. Pakar manajemen Peter Drucker mengatakan orang semacam ini akan
selalu “mencari di mana yang mungkin dilakukan perubahan, memberi
respons yang pas terhadap perubahan dan mengeksploitasi perubahan
sebagai suatu peluang.”

Hambatan

Alangkah menggairahkannya membayangkan menjadi orang proaktif dan
mampu berpikir ditambah bertindak seperti Pipo, kan? Tetapi, tentu
saja menjadi orang semacam itu tidak semudah kita mengucapkan mantera
sim sala bim. Ada banyak hambatan untuk mulai melangkah ke sana.

Hambatan paling besar adalah sikap mental. Mereka yang terbiasa hidup
apa adanya pasti tidak akan pernah hepi, pun dengan hanya
membayangkan harus berolah pikir terus. Apa iya kondisi yang sudah
aman-tenteram harus diobrak-abrik hanya untuk suatu hal yang belum
tentu lebih baik? Pemikiran semacam itulah yang selalu menjadi palang
pintu yang memberati langkah untuk melakukan perubahan, terkecil pun.

Sikap over-harmonis juga merupakan hambatan besar. Sebagai orang
Timur kita sering “merasa tidak enak” kalau “melawan arus”, mempunyai
pendapat berbeda dengan apa yang dianut oleh kebanyakan orang.

Termasuk di dalam hambatan itu adalah sikap takut berbuat salah
(padahal tanpa keberanian melakukan kesalahan, tidak bakal ada suatu
eksperimen terhadap hal-hal baru) dan keinginan untuk cepat
mendapatkan hasil (mengabaikan hukum tanam-tuai).

Di sisi lain, adanya kebiasaan sikap otoriter dari pimpinan, apalagi
yang lingkungannya mempunyai aturan kaku-ketat-mekanistik-birokratis,
yang menyebabkan “orang muda” selalu diminta untuk tunduk pada mereka
yang lebih senior, juga menjadi hambatan besar. Sikap otoriter
semacam itu biasanya hanya melahirkan sekumpulan bebek yang selalu
bersikap menurut, tidak kritis, dan siap melagukan koor “baik bos,
oke bos, beres bos, apa mau bos deh!”

Di lingkungan seperti itu, keberanian melakukan “hal lain” atau
kreativitas sudah mati sebelum sempat dikandung dan orang yang senior
akan menjadi diktator sewenang-wenang yang tidak dapat disalahkan
atau diganggu gugat.

Jadi, kita boleh memilih: bersikap apa adanya dalam menghadapi
kehidupan ini (dan merasa tenteram, adem ayem) atau bersikap kritis
dan selalu menginginkan hal-hal yang lebih baik dibandingkan dengan
apa yang kita punyai sekarang (dan selalu berpikir untuk mencari
alternatif terbaik bagi setiap hal). Anda mau memilih yang mana?

Sumber: Sikap Menghadapi Kehidupan oleh Widyarto Adi Ps, Psi, MM,
Psikolog, Trainer


Comments

3 responses to “Sikap Menghadapi Kehidupan”

  1. fuck poker online

  2. wah…
    didats pikir ini tulisan sampeyan tadi….
    bersahaja banget…

    eh, dibawahnya ada kata2 sumber…. ๐Ÿ˜‰
    nice entry… ๐Ÿ˜€

  3. Harus menjadi orang kuat dalam menyikapi kehidupan yang snagat keras ini