Saat itu senin 10 Agustus 2015 saya sudah berencana besok lusa (Rabu) ingin pulang kampung karena Bapak lagi sakit. Meski sedang sakit saat itu masih belum mau dibawa berobat ke RS. Sebagai anak bungsu dan anak lelaki satu-satunya di keluarga, saya tau betul sifat kerasnya Bapak.
Sebagai ‘pekerja keras’ Bapak jauh dari kata ‘manja’. Soal urusan sakit jika dirasa masih bisa reda dengan menelan tablet obat dari warung sebelah, ia lakukan. Begitu juga dengan kabar sakit kali ini. Bermula dari sakit gigi dan sudah 2 hari tidak bisa makan karena terjadi pembengkaan di gusinya.
Namun, sebagai laki-laki yang layak menjadi suami idaman, Ibu dan kedua kakakku yang hidup damai di kampung dengan sabar tetap merawatnya di rumah. Saat saya ngobrol dan merayu untuk pergi ke RS ia katakan besok siang dengan suara kurang jelasnya karena gusi bengkak. Ah lega rasanya, beliau sempat mempertanyakan tempat tinggal saya sekarang dimana. Doh, ini pertanyaan biasa, tapi ntah kenapa saya merasakan hal besar dibalik pertanyaan itu.
Selasa 11 Agustus 2015, dari pagi saya komunikasi terus dengan kakak di kampung menanyakan kesehatan Bapak. Sekitar jam 1 siang mengabarkan lagi siap-siap berangkat ke RS. Sedikit lega saat itu. Sayapun bergegas cari makan siang.
Selepas kembali makan siang, tepat jam 2 lebih, Selasa Pahing 11 Agutus 2015 setahun lalu HP berdering panggilan dari kakak pertama yang berada di kampung halaman. Segera kuangkat, Kakak mengabarkan Bapak minanggal. Daaaan dunia terasa gelap….
Tak berpikir panjang, apalagi update di sosmed tentang berita itu, sayapun berkemas dan cabut dari pabrik menuju rumah kakak yang tinggal di Batam. Tak terlihat berapa kecamatan motor, yang penting secepat mungkin bisa sampai di rumahnya. Itu saja, tidak lebih. Sesampainya di rumah kakak, kamipun berembuk dan tetap komunikasi sama yang di kampung. Dan sayapun dengan grusak grusuk cari tiket pesawat, ntah kenapa kecepatan internet serasa lambat semua.
Pada awalnya kakak tetap ngotot untuk menunggu kami baru dikebumikan. Namun setelah berbagai pertimbangan dan rayuan sesepuh di kampung akhirnya mengalah. Dengan permintaan untuk di dokumentasikan agar kami bisa melihat wajah terakhirnya.
Akhirnya saya dan kakak sampai di Surabaya sekitar jam 5an. Ohya istri dan anak saat itu tidak saya ajak, karena buru-buru. Kamipun hanya sempat bertemu di bandara Batam untuk anter baju ganti, dan akan nyusul besoknya.
Dari Juanda kamipun cari travel yang sebelumnya sudah saya telpon saat masih di Batam. Karena perjalanan macet, perjalanan terasa lambat sekali. Tengah malam kamipun baru bisa sampai di kampung halaman.
Masih terlihat banyak tetangga njagong di rumah. Tak begitu menghiraukan siapa saja diantara mereka, saya ingin cepat memeluk ibu. Jujur, dengan kepergian Bapak, Ibulah yang jadi pikiran sejak dari pertama menerima kabar Bapak meninggal. Secara fisik, orangnya lemah, namun secara hati, masyallah, tak perlu saya jelaskan lagi di sini.
Malam itu kamipun bercerita kesana kemari, semacam bernostalgia menceritakan Bapak semasa hidupnya. Sampai mendengarkan bagaimana banyak kemudahan saat proses menghembuskan nafas terakhir sampai ke pemakaman. Dan dari situpun terjawab semua kenapa bapak masih menunda berobat ke RS, hingga hari sampai jam berapa pergi ke RS pun almarhum yang menentukan.
Beliaulah yang banyak mengajarkan saya tentang kerasnya hidup. Tak jarang saya kena tampol karena kesalahan-kesalahan yang tak ia harapkan menjadi kebiasaan saya nantinya. Tak jarang juga kamipun bareng ke sawah ketika saya masih di desa. Jika bapak ke sawah, urusan cari makan sapi sampai memandikannya itu menjadi tanggung jawab dan rutinitas saya.
Setelah kepergiaan Bapak, sebenarnya saya sudah berencana eksodus dan berniat tinggal di kampung sambil menemani ibu. Tapi sayang ibu melarangnya. Akhirnya sayapun mengalah tetap tinggal di Batam sampai sekarang.
Beruntung, saat ini saya sudah bisa melihat makam Bapak tiap saat via google street karena sudah diperbarui. Dan sepertinya mobil google streetnya lewat ketika belum lama meninggalkan Bapak. Bisa dilihat di sini http://goo.gl/2lJXl9. Batu nisan hijau yang masih ada payungnya.
Selamat jalan Pak, terimakasih telah merawat, membesarkan dan mendidik anakmu ini.
*Tulisan ini untuk mengenang pendak/1000 hari almarhum Bapak. Jika njenengan nyasari di sini, mohon bantuannya doa untuk almarhum. Alfatihah*