Menjadi Ayam atau Elang

Seorang petani menemukan telur elang dan menempatkannya bersama telur
ayam yang sedang dierami induknya. Setelah menetas, elang itu hidup
dan berperilaku persis seperti anak ayam, karena mengira dirinya
memang anak ayam.

Pada suatu hari, ia melihat seekor elang yang dengan gagah terbang
mengarungi angkasa. “Wow, luar biasa! Siapakah itu?”, katanya penuh
kekaguman. “Itulah elang, raja segala burung!” sahut ayam di
sekitarnya. “Kalau saja kita bisa terbang ya? Luar biasa!” Para ayam
menjawab, “Ah, jangan mimpi! Dia makhluk angkasa, sedang kita hanya
makhluk bumi. Kita hanya ayam!” Demikianlah, elang itu makan, minum,
menjalani hidup dan akhirnya mati sebagai seekor ayam.

Cerita di atas saya sampaikan sebagai pembuka acara “Dialog
Menyongsong Masa Depan” yang diadakan beberapa waktu lalu di Wonosobo
Jawa Tengah. Sebagai konsultan Unicef, saya bertugas datang ke daerah-
daerah untuk berdialog dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya
mempersiapkan masa depan. Uniknya dialog ini melibatkan seluruh
lapisan masyarakat, mulai dari yang buta huruf sampai para sarjana,
ibu-ibu, pembantu rumah tangga, pengambil keputusan, LSM, pelaku
bisnis, media massa dan sebagainya. Alasan kenapa Wonosobo yang
diambil adalah karena kabupaten ini termasuk yang terbelakang, dengan
jumlah penduduk yang berpendidikan SD ke bawah 87%. Kegiatan dialog
ini berfokus pada upaya meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak di
Wonosobo.

Satu hal menarik yang saya amati disana adalah adanya harapan
masyarakat yang berlebihan pada kami untuk membawa perubahan. Seolah-
olah masa depan mereka ada di tangan kami. Padahal justru
kesalahpahaman itulah yang berusaha kami luruskan. Nasib Wonosobo
sebenarnya ada di tangan mereka sendiri. Sebagai konsultan saya akan
berjalan dari satu kota ke kota lainnya untuk menyadarkan dan membuka
wawasan masyarakat. Menggantungkan perubahan di pundak kami hanyalah
suatu kesia-siaan belaka.

Langkah pertama untuk memulai perubahan adalah menyadari bahwa
perubahan itu ada di tangan kita sendiri. Nasib sepenuhnya ada di
tangan kita. Dalam agama dikatakan, “Tuhan tidak akan mengubah nasib
suatu kaum kalau kaum itu tidak merubahnya sendiri.” Maka untuk bisa
berubah kita harus bergantung pada diri kita sendiri. Perubahan nasib
tidak akan datang dari pergantian pemerintahan. Mau Soeharto,
Habibie, Gus Dur atau Megawati, sama saja. Perubahan itu harus kita
lakukan sendiri.

Benar bahwa kita tak dapat memilih lingkungan kita, tapi kita selalu
bisa memilih respon, kita selalu mampu memilih tindakan kita. Memang
ada hal-hal di dunia ini yang berada di luar kekuasaan kita. Kita tak
bisa menentukan siapa orang tua kita, jenis kelamin kita, tempat kita
dilahirkan, cara kita dibesarkan, bakat yang kita miliki dan
sebagainya. Kebanyakan kitapun tak mempunyai kekuasaan untuk
menentukan percaturan politik di negeri ini. Tapi kita senantiasa
bisa menentukan perilaku kita, kita bisa mengontrol apa yang akan
kita lakukan!

Kita tak dapat mengontrol pencemaran udara, tapi kita bisa memulai
kebiasaan hidup sehat di lingkungan kita sendiri; kita tak dapat
mengontrol keamanan di Jakarta, tapi bisa menjaga keselamatan kita
dengan tak terlalu sering keluar malam. Kita tak bisa mengontrol para
pelaku pemerkosaan, tapi bisa mengontrol diri sendiri untuk tak
berpakaian yang merangsang. Kita tak bisa mengontrol kemacetan lalu
lintas, tapi bisa ke kantor lebih pagi untuk menghindarinya. Kita tak
dapat mengontrol krisis dan nilai dolar (bagaimana mungkin,
pemerintahpun sulit melakukannya!), tapi kita bisa mengontrol gaya
hidup kita sendiri.

Kesadaran bahwa nasib ada di tangan kita sendiri akan memberikan
dampak yang signifikan dalam hidup kita. Kita punya kemampuan
menentukan apa yang akan kita perbuat. Kita punya kemampuan penuh
untuk menentukan skenario hidup kita. Akan jadi apakah kita 10, 20,
atau 30 tahun lagi. Benar, akan ada pengaruh dari luar. Tapi Anda
hanya dipengaruhi dan bukan ditentukan!

Sikap inilah yang disebut sebagai bertanggung jawab, responsibility,
yang berasal dari kata response + ability, yaitu kemampuan untuk
melakukan respon terhadap situasi apapun. Respon adalah hasil
keputusan kita sendiri, bukan ditentukan oleh situasi yang kita
hadapi.

Kesadaran semacam itu akan membuka mata kita bahwa kita bisa menjadi
apapun yang kita mau. Gunakan daya imajinasi Anda dan bayangkan diri
Anda 10 tahun lagi. Ingin jadi apakah Anda? Dalami diri Anda dan
kenalilah bakat-bakat dan potensi Anda yang terdalam. Bakat-bakat ini
boleh jadi telah terkubur oleh situasi dan kondisi, padahal kalau
dimunculkan Anda akan mengalami perubahan hidup yang dahsyat. Di
dunia ini tak ada yang tak mungkin. Kitalah yang sering “menggembok”
diri kita dengan berbagai label yang diciptakan lingkungan maupun
diri kita sendiri.

Dengan melakukan hal tersebut Anda akan menemukan sesuatu yang
menggairahkan. Dan siapa tahu, Andapun bisa terbang setinggi elang di
angkasa!

Sumber: Menjadi Ayam atau Elang? oleh Arvan Pradiansyah, Dosen FISIP
UI & Konsultan SDM Franklin Covey Indonesia